waktu masih menunjukan pukul 3 pagi, hanya beberapa orang yang masih terjaga, duduk dengan mata awas melihat sekelilingnya.seorang satpam sesekali berkeliling untuk memeriksa keadaan sekitar. aku menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. mata ku memperhatikan orang-orang yang duduk menunggu, entah menunggu kereta untuk pergi atau orang yang turun dari kereta.
aku sendiri menunggu seseorang untuk memenuhi janji, tepat di depan pintu masuk Stasiun Tugu ini. Bagiku tempat ini menyinpan banyak senyum serta haru tak ingin melepaskan. peluk yang tak ingin ku lepas juga pernah aku rasakan di tempat ini. bunyi bel kereta membuyarkan pandangan ku yang memperhatikan orang-orang sekitar ku.
satu persatu orang-orang turun dari kereta, beberapa orang ada yang terlihat mencari-cari seseorang, ada juga yang langsung duduk terlihat kelelahan. ada satu pemandangan yang menarik bagi ku, dua orang yang saling berpelukan. seperti melepas rindu yang telah menumpuk terlalu lama. sangat unik, bagaimana rindu yang sudah tertumpuk seperti gunung api, dengan ajaib nya menghilang dengan satu pelukan erat. aku hanya tersenyum melihat mereka, ayah dan anak akhir nya bertemu setelah pergi jauh untuk sementara. mata keduanya terlihat berkaca, seolahy berkata ‘aku pulang, ayah, aku rindu‘
aku membuka hp ku, membaca deretan sms-sms yang ada di kotak masukku, aku membuka satu nama, orang yang meminta ku untuk menunggunya sendiri di stasiun tugu. melihat namanya, pikiran ku secara refleks seperti memainkan sebuah film, memunculkan semua kenangan-kenangan yang pernah terlewati di Jogja.
***
“Ya sudah jika memang harus, lalu apa masalahnya?”
Jogja sore itu sedang gerimis kecil, namun cukup membawa hawa dingin yang menyusup di antara baju bergambar the beatles kesayangan ku. Sore itu juga aku berbicara tentang masa depan, tentang tantangan yang mengharuskanku menghadapi 2 pilihan.
“Aku benci berurusan dengan itu” jawabnya ketus
“Ya sudah, sekalian saja kau benci padaku, gampangkan? lalu kita berjalan masing-masing”
Mata Maya yang biasanya selalu menunjukan optimis, tipa-tiba hilang entah kemana pada perihal yang menurut ku sederhana. Raut muka nya pun seketika berubah.
“Aku yakin bisa, berkawan pada kesibukan dan rindu pun aku sudah akrab sekali” yakinku pada Maya
“Aku takut jika kenyataan meruntuhkan keyakinan, aku banyak dengar cerita itu” dia mememinum coklat hangatnya yang sedari tadi dia pegang. matanya berlari kesana kemari, entah seperti mencari sesuatu yang mungkin bisa menenangkan dirinya.
“Kamu lihat pria yang duduk dekat jendela itu?” tunjuk Maya
“iya, kau kenal?”
Maya hanya menggelengkan kepalanya
“lalu?” tanyaku penasaran
“ya kau taukan akhir-akhir ini akus sering ke cafe ini. sudah hampir 2 minggu aku melihatnya duduk di tempat yang sama”
pandangan Maya beralih kepada pria itu. pria yang kulihat dengan tatapan penuh harap keluar jendela, namun sekarang mungkin ia sedang membuang harapan-harapannya.
“sudah 2 hari dia datang tanpa membawa bunga mawar merah” jelasnya
“jadi kau takut?” sambil ku pegang kedua tangannya. Maya hanya mengangguk pelan, di pelupuk mata sudah ada yang siap untuk jatuh.
sambil aku tersenyum “Ya sudah, nikmati dulu coklatmu, lalu aku antar kau pulang”
***
“mas, maaf gak boleh tidur di sini” suara satpam ramah yang beraksen khas jogja itu membangunkanku. tak sadar aku tertidur menyandar di tembok dekat pintu masuk stasiun tugu. Matahari dari timur, menyilaukan pandanganku sesaat. sambil berusaha tersadar, aku berdiri dan memperhatikan jam yang ada di tanganku.
‘sudah jam 6’ batinku. aku berjalan masuk kestasiun dan berdiri di belakang pagar besi setinggi perutku. mataku memperhatikan orang-orang baru turun dari kereta, layaknya kerumunan semut dan kereta itu adalah sebuah rotimanis.
1 jam..
2 jam..
…4 jam..
yang aku tunggu tidaklah menampakan wajahnya. 5 batang rokok yang kuhabiskan untuk membunuh waktu, namun yang ku tunggu tak kunjung ketemu.
“juna, kita pulang ya” seseorang menarik tanganku
“tidak, aku masih ingin di sini dia belum datang!”
“dia sudah pulang juna”
“DIAM PEMBUAL BANGSAT”
Teriakanku mengundang perhatian orang-orang itu. semua menatapku heran, dengan sorot mata yang bertanya ‘ada apa’. Dia yang berusaha membujukku, mengeluarkan air mata. sambil tetap menarik tanganku.
“Ini aku juna, aku aku maya”
“kau bukan maya, kau pembohong terbusuk yang pernah aku kenal”
“pulanglah juna, pulang” pintanya sambil menangis.
tiba-tiba seperti ada benda asing yang menusuk di tengkuk ku. pandangan ku menjadi kabur, rasanya aku tak bisa menopang lagi tubuhku, dan semuanya tiba-tiba gelap
***
kepalaku terasa sangat pusing. mataku yang sayu, berusaha mengenali sekitar ku sambil berusaha mengingat apa yang terjadi tadi. Sayup-sayup ku dengar ada percakapan antara 2 orang yang sepertinya antara perempuan dan laki-laki
“bagaimana dok?” tanya perempuan itu
“ini wajar, pasca kejadian itu. seperti yang saya bilang dari awal, dia tidak mengenali mu. dia hanya teringat sedang menunggu seseorang”
setelah itu terdengar isak tangis dari perempuan itu. perempuan yang selama ini mengaku maya kepadaku.
“ibu maya” lanjutnya “jangan terlalu terburu untuk berusaha mengajak dia mengingat anda”
“apa dia akan melupakan saya?” tanya wanita itu lirih
“Semoga keajaiban tuhan bersama ibu dan pak arjuna”
aku hanya bisa terdiam, memukul kepala ku berkali-kali, mencari jawaban kenapa perempuan itu selalu mengaku menjadi Maya.
aku menintip di balik tirai yang mengelilingi tempat tidur ku, ku perhatikan dia sedang duduk sambil memandang jendela keluar. pemandangan yang samar-samar. entah sepertinya, aku kenal dengan pemandangan itu.