Tag Archives: Fiksi

Cerita pada Machiato

“Dia lagi?” Tanya julia
“Ya seperti biasa, pertanyaan standard”
“Kau pintar sekali berkilah”
“kalu tidak, bisa hancur semua. Bagaimana? liburan ke derawan atau karimunjawa?” tanya David
“Karimunjawa, aku tidak ingin  jauh-jauh. mungkin nanti bisa timbul masalah, apalagi itu lama” ujar Julia.
“hmm baiklah, cheers”
ting

Bunyi gelas anggur saling beradu, keduanya nampak larut di tengah lantunan music jazz di bar itu. Tidak ada yang aneh jika semua orang melihat mereka, layaknya seorang kekasih yang sedang berkencan biasa.  Badan julia bergoyang mengikuti lantunan lagu jazz. Mata nakalnya memperhatikan David yang malam itu tampak manly dengan kemerja hitam dan di balut dengan jass, terlihat fit dengan badannya yang memang atletis. Mata itu menggoda David untuk mengecup bibirnya dengan mesra, larut dalam musik jazz yang semakin syahdu mengalun bersama malam.

***

“harus sampai kapan?” Mata julia mulai berkaca “kau jangan berkilah lagi vid”
David hanya mematung, melihat jalanan yang ada di sebrang cafe, sangat padat. Matanya tak ingin menatap mata julia yang biasanya selalu menggoda itu
“aku tidak tahu” sambil mengangkat bahunya
“kau arogan vid” ketus Julia
“Jangan kau dorong aku seperti itu” David memandang sinis Julia, seakan matanya mendorong jauh kalimat ‘Arogan’ dari dirinya
“Aku wanita vid” suara Julia mulai parau ” Aku lelah bila harus bersembunyi di balik bayangan kesetiaan mu yang menjijikan itu”

PLAAKKK

Seluruh cafe memandangi mereka berdua, tidak ada yang berani melerai atau sekedar bertanya.
“Jangan kau bawa nama najis itu” ujar nya meninnggi
“Kalau begitu, biarkan aku menjalani kehidupan ku seperti biasa, dan kau kembali kepada lelaki haram mu itu”
David hanya terdiam, mulut nya tak bisa lagi berkata apa-apa, apalagi berkilah seperti biasanya yang dia ucapkan kepada Doni.
“Kehidupanku sungguh lebih baik tanpa lelaki seperti mu. Aku muak, aku lelah bersembunyi di balik hubungan mu yang najis itu. menjadi sosok ketiga untuk menjaga citra mu” maki Julia

Hening sejenak mengisi keduanya yang tak mau saling pandang. Julia sudah terlanjur tidak percaya dengan semua janji David untuk segera mempersuntingnya, dan lepas dari doni.  Julia mengambil tas nya dan meninggalkan David yang masih terpaku di depan cangkir Machiato yang tak habis di sesapnya. Sama seperti merka yang pahitnya masi tersisa, lalu sama-sama di tinggalkan.

Tagged , ,

Berkawan

waktu masih menunjukan pukul 3 pagi, hanya beberapa orang yang masih terjaga, duduk dengan mata awas melihat sekelilingnya.seorang satpam sesekali berkeliling untuk memeriksa keadaan sekitar. aku menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. mata ku memperhatikan orang-orang yang duduk menunggu, entah menunggu kereta untuk pergi atau orang yang turun dari kereta.

aku sendiri menunggu seseorang untuk memenuhi janji, tepat di depan pintu masuk Stasiun Tugu ini. Bagiku tempat ini menyinpan banyak senyum serta haru tak ingin melepaskan. peluk yang tak ingin ku lepas juga pernah aku rasakan di tempat ini. bunyi bel kereta membuyarkan pandangan ku yang memperhatikan orang-orang sekitar ku.

satu persatu orang-orang turun dari kereta, beberapa orang ada yang terlihat mencari-cari seseorang, ada juga yang langsung duduk terlihat kelelahan. ada satu pemandangan yang menarik bagi ku, dua orang yang saling berpelukan. seperti melepas rindu yang telah menumpuk terlalu lama. sangat unik, bagaimana rindu yang sudah tertumpuk seperti gunung api, dengan ajaib nya menghilang dengan satu pelukan erat. aku hanya tersenyum melihat mereka, ayah dan anak akhir nya bertemu setelah pergi jauh untuk sementara. mata keduanya terlihat berkaca, seolahy berkata ‘aku pulang, ayah, aku rindu

aku membuka hp ku, membaca deretan sms-sms yang ada di kotak masukku, aku membuka satu nama, orang yang meminta ku untuk menunggunya sendiri di stasiun tugu. melihat namanya, pikiran ku secara refleks seperti memainkan sebuah film, memunculkan semua kenangan-kenangan yang pernah terlewati di Jogja.

***

“Ya sudah jika memang harus, lalu apa masalahnya?”
Jogja sore itu sedang gerimis kecil, namun cukup membawa hawa dingin yang menyusup di antara baju bergambar the beatles kesayangan ku. Sore itu juga aku  berbicara tentang masa depan, tentang  tantangan yang mengharuskanku menghadapi 2 pilihan.
“Aku benci berurusan dengan itu” jawabnya ketus
“Ya sudah, sekalian saja kau benci padaku, gampangkan? lalu kita berjalan masing-masing”
Mata Maya yang biasanya selalu menunjukan optimis, tipa-tiba hilang entah kemana pada perihal yang menurut ku sederhana. Raut muka nya pun seketika berubah.
“Aku yakin bisa, berkawan pada kesibukan dan rindu pun aku sudah akrab sekali” yakinku pada Maya
“Aku takut jika kenyataan meruntuhkan keyakinan, aku banyak dengar cerita itu” dia mememinum coklat hangatnya yang sedari tadi dia pegang. matanya berlari kesana kemari, entah seperti mencari sesuatu yang mungkin bisa menenangkan dirinya.
“Kamu lihat pria yang duduk dekat jendela itu?” tunjuk Maya
“iya, kau kenal?”
Maya hanya menggelengkan kepalanya
“lalu?” tanyaku penasaran
“ya kau taukan akhir-akhir ini akus sering ke cafe ini. sudah hampir 2 minggu aku melihatnya duduk di tempat yang sama”
pandangan Maya beralih kepada pria itu. pria yang kulihat dengan tatapan penuh harap keluar jendela, namun sekarang mungkin ia sedang membuang harapan-harapannya.
“sudah 2 hari dia datang tanpa membawa bunga mawar merah” jelasnya
“jadi kau takut?” sambil ku pegang kedua tangannya. Maya hanya mengangguk pelan, di pelupuk mata sudah ada yang siap untuk jatuh.
sambil aku tersenyum “Ya sudah, nikmati dulu coklatmu, lalu aku antar kau pulang”

***

“mas, maaf gak boleh tidur di sini” suara satpam ramah yang beraksen khas jogja itu membangunkanku. tak sadar aku tertidur menyandar di tembok dekat pintu masuk stasiun tugu. Matahari dari timur, menyilaukan pandanganku sesaat. sambil berusaha tersadar, aku berdiri dan memperhatikan jam yang ada di tanganku.

‘sudah jam 6’ batinku. aku berjalan masuk kestasiun dan berdiri di belakang pagar besi setinggi perutku. mataku memperhatikan orang-orang baru turun dari kereta, layaknya kerumunan semut dan kereta itu adalah sebuah rotimanis.
1 jam..
2 jam..
…4 jam..

yang aku tunggu tidaklah menampakan wajahnya. 5 batang rokok yang kuhabiskan untuk membunuh waktu, namun yang ku tunggu tak kunjung ketemu.
“juna, kita pulang ya” seseorang menarik tanganku
“tidak, aku masih ingin di sini dia belum datang!”
“dia sudah pulang juna”
“DIAM PEMBUAL BANGSAT”
Teriakanku mengundang perhatian orang-orang itu. semua menatapku heran, dengan sorot mata yang bertanya ‘ada apa’. Dia yang berusaha membujukku, mengeluarkan air mata. sambil tetap menarik tanganku.
“Ini aku juna, aku aku maya”
“kau bukan maya, kau pembohong terbusuk yang pernah aku kenal”
“pulanglah juna, pulang” pintanya sambil menangis.

tiba-tiba seperti ada benda asing yang menusuk di tengkuk ku. pandangan ku menjadi kabur, rasanya aku tak bisa menopang lagi tubuhku, dan semuanya tiba-tiba gelap

***

kepalaku terasa sangat pusing. mataku yang sayu, berusaha mengenali sekitar ku sambil berusaha mengingat apa yang terjadi tadi. Sayup-sayup ku dengar ada percakapan antara 2 orang yang sepertinya antara perempuan dan laki-laki
“bagaimana dok?” tanya perempuan itu
“ini wajar, pasca kejadian itu. seperti yang saya bilang dari awal, dia tidak mengenali mu. dia hanya teringat sedang menunggu seseorang”
setelah itu terdengar isak tangis dari perempuan itu. perempuan yang selama ini mengaku maya kepadaku.
“ibu maya” lanjutnya “jangan terlalu terburu untuk berusaha mengajak dia mengingat anda”
“apa dia akan melupakan saya?” tanya wanita itu lirih
“Semoga keajaiban tuhan bersama ibu dan pak arjuna”
aku hanya bisa  terdiam, memukul kepala ku berkali-kali, mencari jawaban kenapa perempuan itu selalu mengaku menjadi Maya.

aku menintip di balik tirai yang mengelilingi tempat tidur ku, ku perhatikan dia sedang duduk sambil memandang jendela keluar. pemandangan yang samar-samar. entah sepertinya, aku kenal dengan pemandangan itu.

Tagged , ,

Pohon Bercerita

Aku suka melihat orang-orang yang berlalu-lalang di hadapanku atau yang sekedar duduk di kursi yang ada tepat di sebelahku. Ya, hanya itu yang bisa aku lakukan, sejak pertama kali aku hadir di taman ini. sudah banyak yang aku lihat, mulai dari orang-orang yang sedang jatuh cinta, menangis, atau orang yang terlihat seperti menunggu.

Ah, tentang menunggu, aku punya cerita tentang hal yang satu itu.
Setiap pukul 5 sore, atau sekiranya menjelang matahari melukis jingga di langit, selalu ada seorang pria yang duduk di kursi yang berada tepat di sebelahku. sambil membawa segelas kopi, dia memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. kadang-kadang, kepalanya terlihat menoleh kesana kemari seperti mencari sesuatu. hampir setiap hari, selama setahun dia melakukan hal yang sama. aku pikir dia sedang menunggu seseorang. Hasil nya pun selalu sama, dia berjalan pulang dengan langkah gontai, seperti menyeret banyak harapan yang sudah patah.

Musim terus berganti, dan saat itu mulai memasuki musim gugur. Pria itu datang lagi, melakukan hal sama. Namun kali ini dia membawa secarik kertas dan terlihat menuliskan sesuatu. aura nya seperti sudah mati, tidak bergairah. padahal di sekitarnya semua orang berpasangan, berbagi tawa, berbagi kasih. bahkan yang sendiri pun juga berbagi. Entah mereka berbagi bersama burung yang selalu datang mengunjungi taman, atau bersama orang-orang yang melintas sambil membagikan kue-kue yang terlihat sangat lezat. Namun pria itu tidak, bahkan ia membawa harapan-harapan yang sudah bertahun-tahun patah.

aku lihat dia beberapa kali mencoret-coret apa yang sedang dia tulis dan menggelengkan kepalanya. aku semakin penasaran dengan apa yang dia tulis pada secarik kertas itu.
tidak lama, dia pun bangkit berdiri sambil meninggalkan kertasnya di atas bangku. Aku mencoba membaca apa yang ia tulis. Setiap kalimat aku baca, aku rasakan apa yang dia tulis. perlahan, aku mulai merasakan apa yang pria itu rasakan. aku seolah-olah memikul harapan-harapan yang patah.

Bahkan daunku pun sepertinya ikut merasakan apa yang di rasa pria itu. perlahan, mereka gugur di terpa angin. Tergeletak dan mati, bersama harapan-harapan patah yang di tinggalkan oleh pria itu.

Tiada satu haripun aku lewati tanpa menunggumu disini, di bawah pohon teduh ini. Pukul lima sore hingga saat matahari mulai lelah menyinari, aku tetap menunggu di sini. aku datang membawa harapan. namun selalu pulang dengan matinya mereka yang di bunuh oleh kenyataan. Tapi yakin ku tak sekalipun hilang, bahkan otak ku sepertinya sudah memperingatkan hatiku, untuk tidak lagi duduk di situ, karena waktu ku dengan mu telah usai. Dan lagi-lagi di bunuh kenyataan. Segala surat yang aku kirim, mungkin saat ini sudah menjadi abu di perapian di kala malam membawa selimut dingin kepadamu. entah sudah berapa harapan yang patah sia-sia, mungkin tak terhitung. Mungkin saat ini yakinku sudah padam, semua harap ku juga sudah lenyap di makan waktu. walau nanti aku tidak melihatmu, datanglah kesini, ditempat matinya segala harapan ku.

Dan kemarin, aku melihat seorang wanita tua, berjalan seidikit tertatih dengan tongkatnya. wanita tua itu duduk di kursi itu sambil memegang foto. entah itu foto siapa, yang terlihat hanyalah gambaran seorang pria. Dia hanya memandangi foto itu, sambil sesekali memperhatikan orang yang lalu lalang. hingga matahari terbenam pun dia tetap duduk di situ.

Hari perlahan menjadi gelap, barisan lampu taman sudah menyala, menggantikan terang matahari. suasana taman pun tak seramai sore hari. tiba-tiba kudengar isak tangis dari wanita tua itu. ia tampak memeluk erat foto yang sedari tadi ia pegang. lalu ia menatap lagi foto itu dan seolah-olah sedang bercengkrama dengan benda itu. sepintas terdengar kata maaf terucap dari bibirnya. Aku memperhatikan foto itu lekat-lekat. sepertinya aku mengenali foto itu.

entah mengapa pada saat itu aku ingin menangis dan memeluk wanita itu. Wanita yang selalu di tunggu dengan harapan-harapan yang kemudian mati akhirnya datang. Ya, aku adalah pria yang menunggu itu, namun sayang, sekarang, aku hanya berwujud sebatang pohon seperti sekarang, yang tumbuh bersama harapan-harapan yang sudah mati.

Tagged , , , ,